Untuk Guru
Saya terkesan benar dengan sebuah iklan layanan masyarakat yg dibuat DJARUM. Tentang seorang guru yang istrinya melahirkan dan tidak punya biaya. Mau mengambil uang dana muridnya ternyata tidak tega, akhirnya menjual motor bututnya. Namun, murid-muridnya ternyata membuat kejutan, suatu ketika mereka menghadiahi gurunya dengan sebuah sepeda.
Ini ada cerita lain lagi. Waktu melihat wawancara di TV tentang novel “Laskar Pelangi” saya terkesan dan terharu sekali (bahkan sempat menitikkan air mata, hehehe, beneran..). Novel ini berdasar kisah nyata, menceritakan tentang 10 anak SD di sekolah terpencil di Belitung dan seorang guru luar biasa, namanya Ibu Muslimah. Disebut laskar pelangi karena mereka punya ‘ritual’ melihat pelangi dari atas pohon ketika selesai hujan. Saya cari novelnya, sold out semua. Jadi saya akan ceritakan lebih detil kalo sudah dapat novel tersebut. Penulisnya, Andrea Hirata, menceritakan bahwa suatu saat ketika sekolah ada hujan lebat sekali. Karena sekolahnya reot dan bocor, murid-murid ketakutan dan bingung berteduh dimana, sedangkan gurunya juga belum ada. Dalam ketakutan ini, dari kejauhan nampak Ibu Muslimah datang dengan berpayungkan daun pisang, menghampiri anak-anak didiknya ini. Pada momen itu, Andrea berkata pada dirinya sendiri, “Suatu saat aku akan menuliskan ini”.. Dan, meski hanya dimaksudkan untuk ditulis secara pribadi, buku ini ternyata akhirnya meledak di pasaran ketika diterbitkan.
Btw, sebenarnya melihat potret sekolah dan orang-orang yang diceritakan oleh novel ini saya seperti flashback dan flashforward (bener gak ya istilah ini). Saya teringat dulu waktu kami kecil mirip seperti novel ini, sekolah reot, jarang bersepatu, dengan guru-guru bersahaja dll. Saya merasa seperti salah satu dari ke-10 anak ini. Belajar dengan seadanya, bermain di lapangan atau bendungan peninggalan Belanda (saya dulu hampir saja tenggelam di bendungan yang cukup dalam ini padahal waktu itu masih kelas 1 SD. Saya merahasiakan ini dari orang tua karena pasti saya atau kakak saya akan dimarahi. Bahkan sampai sekarang mungkin orang tua saya tidak tahu).
Saya kemudian flashforward, di mana kami-lah yang berposisi menjadi guru-nya (sekarang atau nanti). Meski tidak berstatus resmi sebagai guru di sana, saya kadang membantu ngajar atau seringkali mendiskusikan program-program. Kalo diskusi begini kami biasa sampe dini hari. Perjuangan temen-temen saya ini saya acungi jempol. Dengan gaji seadanya (semua gurunya sekarang berstatus honorer semua) mereka tetap dengan sukacita mengajar, meski kadang ada perasaan putus asa juga, hal yang saya sangat maklumi.Saya memaknai perjuangan sebagai sebuah pengorbanan, sebuah kesiapan dan ketegaran menanggung resiko dan konsekwensi. Temen saya yang paling tua dan paling bersemangat berusia 40 tahunan, memiliki 4 anak, selain mengajar juga kadang menjadi tukang kayu, tukang batu, dan bertani (profesi-profesi yang penghasilannya jauh dari cukup). Dulu pernah membuka warung Mie Ayam, tapi gagal. Dengan mengajar dia mempertaruhkan banyak hal…
Jadi, melihat iklan tadi atau membaca mendengar cerita dari novel ini rasanya ‘menyejukkan’. Tidak saja saya flashback, tapi juga bagaimana ini memotivasi untuk flashforward, bahwa pendidikan, dan terutama guru, memberi makna besar bagi kehidupan. Saya kira saya harus membelikan buku ini buat temen-temen.
Bravo pendidikan, bravo guru…
Comments
Post a Comment