Laskar Pelangi (finally found it..)
Kemaren sebenarnya pengin pulang, karena malam saya ditugasi kultum penutup (saya biasanya spesialis kultum terakhir yang mereview kultum dalam sebulan, memintakan maaf, dan harapan ke depan, terutama dengan cita-cita temen-temen). Tapi karena sudah cukup sore dan hari kerja kantor masih sehari (nanggung sekali) akhirnya dengan agak menyesal saya gak jadi pulang .
Tapi ternyata ada sedikit hikmah juga. Semalam akhirnya saya tarawih di Masjid Kampus UGM. Usai tarawih saya tergerak lihat-lihat buku di selasar (di sana banyak yang jualan buku). Tak sengaja saya lihat buku dengan sampul yang saya inget saya cari-cari selama ini, “Laskar Pelangi”.
Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit manakjubkan itu. Karena keragaman kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. (hal 160)
Cerita di buku ini memang menyentuh, menyoroti sisi kehidupan miskin dengan sudut pandang yang beragam, penuh kegetiran, keprihatinan, keluguan, tapi juga semangat yang berkobar-kobar, ketulusan, canda dan sudut positif dalam memaknai hidup. Kisah ini terjadi di sebuah SD Muhammadiyah di pelosok Belitong, sebuah sekolah yang oleh penulisnya sangat disyukuri berlipat-lipat karena bisa belajar terutama nilai-nilai agama dan kehidupan yang tidak akan didapatnya dari sekolah lain.
Andrea Hirata, penulis novel ini, yang dalam buku itu dikisahkan sebagai Ikal berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Seman Said Harun Hirata (73), adalah pensiunan pegawai rendahan PN Timah, sementara ibunya, Masturah (70), adalah ibu rumah tangga. Empat abang dan satu adiknya menekuni profesi seperti umumnya kaum marjinal di Belitong, yaitu sebagai penambang tradisional.Dua tokoh yang banyak disorot dan menjadi inspirator utama Andrea adalah Bu Muslimah, guru penuh dedikasi dan perjuangan, serta tokoh Lintang, anak kuli kopra yang penuh energi dan semangat berkobar dalam kecintaannya dengan ilmu.
Bu Mus, seorang ibu guru yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak2 walaupun tidak memberikan materi yang mencukupi. Wanita lembut penuh kasih tapi juga bisa tegas ketika anak didiknya melenceng dari jalur. Dia memberikan kesempatan anak didiknya untuk berkembang seluasnya, walau tetap dalam keterbatasan. Waktu diwawancara di Kick Andy-pun ibu ini bersahaja sekali. “Saya ini cuma guru desa biasa saja, sekolah juga tidak tinggi, tidak pintar, yang pintar justru murid-murid”, katanya lugu. Energi cinta sang guru ini ternyata menembus sanubari murid-muridnya, dalam sekali.
‘Buku Laskar Pelangi memang saya persembahkan untuk Ibu Mus yang sangat tabah dan pantang menyerah dalam mendidik kami,’ ujar Andrea.
Tokoh Lintang, sosok yang bergairah, penuh semangat. Paling pintar dan jenius meski dia hanya anak kuli kopra. Pulang pergi sekolah bersepeda 80 KM melewati hutan dan rawa yang kadang harus berhadapan dengan buaya. Suatu ketika rantai sepedanya putus, dia harus menuntun sepeda ke sekolah yang masih separo jalan, dan mendapati sekolah sudah hampir selesai tapi dia bersemangat hanya untuk giliran menyanyi lagu “Padamu Negeri” di depan kelas. Pulangnya tentu ia harus menuntun sepedanya lagi sampai rumah.
Tragisnya, kalo tidak salah ketika kelas 2 SMP, ayah Lintang meninggal. Esoknya, dia mengirim surat ke Bu Mus:” Ibunda, bapakku telah meninggal, besok aku tidak sekolah”. Dan sejak itu dia tidak lagi melanjutkan sekolah karena harus bekerja menghidupi keluarganya karena ia anak tertua. Cita-cita besar dan segala angannya seolah lenyap dalam sekejap karena tuntutan kehidupan.
Ada juga momen-momen membanggakan misalnya ketika memenangkan lomba-lomba mengalahkan sekolah-sekolah elit dan kaya di PN Timah..
…
Sedikit banyak saya sebenarnya merasakan apa yang ditulis Andrea ini. Sekolahnya, guru-gurunya, pelajaran-pelajarannya, murid-muridnya (banyak teman-teman saya yang harus naik turun bukit). Waktu kami dulu juga sering memenangkan lomba-lomba. Kalau lomba membaca Quran dan semacamnya sudah langganan karena kami sekolah agama, tapi lomba semacam cerdas-cermat dokter kecil misalnya, membuat beberapa sekolah lain, apalagi yang negeri, yang biasanya meng-underestimate, akhirnya respek juga. (Waktu lomba dokter kecil itu kami bahkan hampir tanpa persiapan, karena memang tidak tahu harus apa, hehehe).
Ah, Membaca novel ini dan ingat dengan ‘perjuangan’ temen-temen di kampung, seprti mengingatkan saya bahwa kiranya masih banyak mimpi yang harus diwujudkan, atau tepatnya diperjuangkan…
Comments
Post a Comment